Selasa, 29 Januari 2019

REFLEKSI LIMA TAHUN PELAKSANAAN DANA KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh : Irfan Sofi

Pelaksanaan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang biasa kita sebut DAIS telah memasuki tahun ke-6 pelaksanaannya di tahun ini. DAIS pertama kali ada sejak Tahun 2013 sebagai tahun pertama pelaksanaan UU Nomor 13 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Alokasi DAIS dari APBN sebesar Rp231 miliar. Alokasi DAIS dari Pemerintah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2018 DAIS telah mencapai Rp1 triliun atau sudah meningkat 332,17% dari pertama kali dianggarkan dalam APBN. Terlepas dari cukup tidaknya dana tersebut dalam rangka mendanai urusan keistimewaan yang menjadi kewenangan Provinsi DIY, paling tidak dalam usia lebih dari 5 (lima) tahun semestinya kebijakan tersebut sudah mampu menstimulus pengelolaan urusan keistimewaan menuju “Yogya Istimewa” sebagaimana semangat UU Nomor 13 Tahun 2012.
       
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 lahir sebagai bentuk penegasan dan pengakuan Pemerintah atas nilai-nilai luhur dan istimewa yang dimiliki oleh masyarakat Yogyakarta dengan segala karakteristiknya. Hal ini sekaligus merupakan cerminan dari semangat Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Keistimewaan dalam konteks UU 13 tahun 2012 ini adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut UUD 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa (Pasal 1 Angka 2 UU 13 Tahun 2012). Kewenangan istimewa ini merupakan wewenang tambahan tertentu yang dimiliki oleh DIY selain wewenang yang telah ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Kewenangan yang termasuk dalam urusan keistimewaan meliputi 5 (lima) urusan yaitu: i). tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; ii). Kelembagaan Pemerintah DIY; iii). Kebudayaan; iv). Pertanahan; dan v). Tata Ruang. Inilah salah satu wujud dari pelaksanaan asimetris desentralization dalam tata pemerintahan di Indonesia saat ini di mana suatu wilayah/pemerintah daerah diberikan kewenangan lebih yang berbeda dengan daerah lain pada umumnya.
Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. Pengaturan tersebut berlandaskan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, ke-bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspek historis, sosiologis, dan yuridis, substansi Keistimewaan DIY diletakkan pada tingkatan pemerintahan provinsi (Penjelasan UU 13 Tahun 2012).
Guna mewujudkan apa yang dicita-citakan melalui UU Nomor 13 Tahun 2012 sebagaimana tersebut di atas, perlu didukung sebuah skema pendanaan dari Pemerintah yang sejalan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat DIY itu sendiri sebagai perwujudan dari kedaulatan daerah dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara (APBN) melalui DAIS. Sebagai konsekuensi dari transfer pendanaan tersebut, Pemerintah DIY memiliki tanggung jawab yang besar untuk dapat memastikan agar pengelolaan DAIS dapat berjalan secara efektif dan sekaligus berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
EVALUASI DAIS 2013 - 2017
1. Perencanaan dan Penganggaran DAIS
Pelibatan stakeholder dimulai dari saat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan DAIS. Unsur dari TAPD dan unsur teknis (OPD) bersinergi untuk melakukan perencanaan dengan memperhatikan juga aspirasi masyarakat yang terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Budaya dan lembaga lain. Usulan Kab./Kota hanya bisa mengikuti program/kegiatan yang sudah ada dalam RPJMD Provinsi karena keistimewaan ada di provinsi dan kesulitan untuk mengusulkan program/kegiatan baru yang benar-benar diperlukan sesuai kebutuhan serta karakteristik kab./kota. Khusus untuk urusan kebudayaan saat ini masih terfokus pada program/kegiatan yang berkaitan dengan seni peran. Pelaksanaan musrembangda yang dilakukan oleh Provinsi DIY untuk merencanakan program/kegiatan yang didanai dari DAIS dilakukan berbarengan dengan program/kegiatan yang didanai dari APBD murni atau belum terdapat musrembangda tersendiri khusus untuk DAIS.
2. Pengalokasian DAIS
Program/kegiatan dari DAIS sebagian besar dilaksanakan oleh Pemprov. DIY, hanya sebagian kecil program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Kab./Kota. Hal ini dapat kita lihat pada pelaksanaan DAIS Tahun 2015, Prov. DIY mendapatkan porsi Rp443,38 miliar atau 80,99% sedangkan sisanya sebesar 19,01% dibagi untuk Kab./Kota. Bahkan untuk tahun 2016 jumlahnya berkurang untuk  program dan kegiatannya dilakukan oleh Kab./Kota yaitu hanya 8,27% dari total Pagu DAIS sebesar Rp548,24 miliar. 

 Apabila kita lihat alokasi DAIS perurusan maka selama 5 tahun pelaksanaan DAIS, urusan kebudayaan mendapatkan porsi alokasi yang lebih besar dari pada keempat urusan yang lain yaitu sebesar 61,42% atau Rp1,62 triliun dari total Rp2,65 triliun. Disusul kemudian urusan tata ruang yaitu sebesar 34,95% atau sebesar Rp0,93 triliun. Tata ruang mendapatkan porsi kedua karena ada pengadaan tanah dan penyediaan lahan untuk penataan kawasan dalam rangka mendukung kawasan budaya. Besarnya anggaran DAIS yang dialokasikan di APBN sebagian besar masih untuk kegiatan non fisik serta untuk belanja aparat/pegawai dan belum kepada belanja yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dalam  program/kegiatan yang ada saat ini  yaitu hampir sebagian besar berupa kegiatan workshop, focus group discussion, kajian, monitoring dan evaluasi dimana outputnya dalam bentuk laporan kegiatan.

 Kegiatan yang berasal dari DAIS haruslah dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Ada beberapa kegiatan yang langsung dirasakan khususnya untuk abdi dalem. Tambahan penghasilan untuk abdi dalem Kraton Ngayogyakarta tahun 2017 dari yang paling besar yaitu untuk Sultan berjumlah Rp3.800.000,- perbulan dan yang paling kecil untuk jajar dengan jumlah perbulan Rp1.100.000,-. Honor tersebut diberikan kepada abdi dalem yang setiap hari bertugas di kraton. Untuk abdi dalem yang bertugas sesuai jadwal mendapatkan honor untuk paling kecil sebesar Rp125.000,-. Sedangkan untuk honor abdi dalem pada Kadipaten Pakualaman tahun 2017 dari yang paling besar mendapatkan Rp3.425.000,- perbulan dan yang paling kecil sejumlah Rp392.500,- perbulan.
3. Pelaksanaan dan Penggunaan DAIS
Pelaksana teknis DAIS urusan Kebudayaan pada Tahun Anggaran 2015 dan 2016 sebagain besar dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY yaitu sebesar 55,25% dan 50,00%. Sisanya dibagi antara SKPD Pemprov DIY lainnya dan SKPD yang ada di Kab./kota. Untuk tahun 2017 terdapat 21 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk urusan kebudayaan termasuk yang berada di Dinas Kebudayaan Kabupaten/Kota di DIY. Banyaknya PPK untuk urusan kebudayaan menjadi masalah koordinasi pencairan dana dari DAIS. Seperti contoh untuk pengajuan pencairan diperlukan beberapa kali koordinasi, apabila ada kesalahan administrasi dalam pengajuan berkas pertanggungjawaban maka diperlukan waktu untuk perbaikan berkas dari kab./kota ke ibukota provinsi. Selain itu pelaksana kegiatan di kabupaten/kota lebih mendahulukan melaksanakan kegiatan dari APBD murni daripada yang berasal dari DAIS.
Pelaksanaan DAIS sejak pertama kali dialokasikan pada Tahun 2013 sampai dengan saat ini menunjukkan kemajuan dalam pencapaian penyerapan maupun pencapaian outputnya. Pada awal pelaksanaan DAIS pada Tahun 2013 capaian penyerapan keuangan urusan kebudayaan hanya sebesar 22,50% dan penyerapan output atau fisik hanya sebesar 27,93%. Sedangkan untuk capaian penyerapan keuangan pada tahun 2016 untuk urusan kebudayaan sudah mencapai 94,67% dengan capaian fisik atau output mencapai 99,94%. Bahkan untuk urusan kelembagaan dua tahun terakhir mampu mencapai 100% untuk penyerapan outputnya.
Persentase Capaian Penyerapan Keuangan dan Output DAIS
Tahun 2013 – 2016


Barang hasil program atau kegiatan DAIS di Kab./Kota sampai saat ini belum ada kejelasan untuk pemeliharaan. Hal ini disebabkan barang tersebut masih milik Pemprov. DIY dan belum dilakukan pemindahtanganan atau dihibahkan kepada Pemkab./kota sehingga belum dapat dilakukan penganggaran untuk pemeliharaan oleh Pemkab./kota. Proses hibah BMD dari Provinsi kepada Kab./Kota belum direncanakan dengan baik.
PENUTUP
Besaran DAIS yang megalami kenaikan dalam segi jumlah dari tahun ke tahun harus dapat diikuti dengan pengelolaan yang lebih baik serta lebih dapat dinikmati pelaksanaannya secara nyata oleh masyarakat DIY. Masterplan penggunaan DAIS harus dirumuskan dengan baik dan lebih jelas atau fokus penggunaanya. Semoga dengan pengelolaan yang baik maka apa yang diinginkan yaitu “Yogja Istimewa” akan dapat terwujud.

MANDATORY SPENDING DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
Oleh Irfan Sofi

Hasil dari kegiatan secondment pegawai Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pada sebuah Kabupaten di Pulau Sumatera, saat membedah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD)-nya, Pemerintah Daerah menyampaikan keluhan kepada kami terkait banyaknya mandatory spending yang harus dipenuhi daerah sehingga mengakibatkan fiscal space daerah yang bisa digunakan untuk kegiatan yang menjadi prioritas daerah tidak banyak. Mungkin keluhan ini sudah banyak di dengungkan oleh beberapa Pemerintah Daerah lainnya khususnya daerah-daerah yang hanya mengandalkan pendapatan daerah dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Grafik : Persentase Belanja APBD Provinsi/Kabupaten/Kota 2018
   
Sumber data : DJPK 2018 (diolah)
Berdasarkan data APBD tahun 2018 bahwa hampir 37,50 persen digunakan untuk belanja pegawai, 24,71 persen untuk belanja barang/jasa 20,42 persen untuk belanja modal dan sisanya sebesar 17,37 persen untuk belanja lainnya. Jika dirinci per provinsi, kabupaten dan kota, maka belanja pegawai terbesar ada di kota dengan persentase 44,85 persen. Pemerintah Daerah juga harus menganggarkan biaya untuk pilkada secara langsung maka beban mejadi terasa berat lagi.
Menteri Keuangan dalam media tempo tanggal 5 November 2018   menyatakan masih banyak pemerintah daerah yang belum mematuhi pengeluaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan, kesehatan, dana desa, dan infrastruktur. Padahal dana tersebut berdampak langsung kepada masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menjatuhkan sanksi terhadap daerah-daerah yang tidak memenuhi kewajiban alokasi belanja yang telah diatur oleh undang-undang (mandatory spending). Sanksi yang dimaksud, yakni berupa penundaan hingga pemangkasan dana alokasi umum (DAU) atau dana bagi hasil (DBH).
Mandatory spending itu apa?
Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh Undang-Undang. Tujuan adanya mandatory spending ini adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Mandatory spending dalam tata kelola keuangan pemerintah pusat meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4);
2. Alokasi anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto sesuai dengan ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
3. Alokasi anggaran Dana Bagi Hasil (DBH) dengan perhitungan yang telah ditentukan sesuai dengan ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
4. Alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN sesuai dengan ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
5. Alokasi anggaran untuk otonomi khusus sesuai dengan Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2 persen dari DAU nasional.
6. Dana Desa sebesar 10 persen dari APBN sesuai ketentuan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Sedangkan mandatory spending dalam tata kelola pemerintah daerah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4);
2. Alokasi anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari APBN sesuai dengan ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
3. Alokasi Dana Desa sebesar 10 persen dari DAU dan DBH sesuai dengan ketentuan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 72;
4. Alokasi Anggaran Infrastruktur 25 persen dari Dana Transfer Umum (DAU dan DBH) sesuai dengan ketentuan UU APBN setiap tahun;
5. Bagi Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dari Provinsi ke Kabupaten/Kota sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD
6. Bagi Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 10 persen ke Desa sesuai dengan amanat pasal 97 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Coba kita menghitung berapa sih yang dapat dilakukan oleh seorang Kepala Daerah dalam APBD-nya jika memperhitungkan mandatory spending serta belanja wajib yang harus dibelanjakan dalam APBD. Apabila suatu Kabupaten memiliki APBD 1000 rupiah,
Banyaknya belanja daerah yang diamanatkan sesuai aturan membuat kepala daerah sedikit kesusahan untuk memasukkan program/kegiatan yang menjadi janji politiknya saat kampanye. Namun demikian, tujuan ditetapkannya mandatory spending ini untuk melindungi apa yang menjadi hak rakyat atau masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar dan mampu mengurangi ketimpangan pada akhirnya. Apabila daerah memiliki PAD yang besar akan menjadi lain soal, karena dengan fiscal space /ruang fiskal yang cukup akan mampu untuk menjalankan semua program/kegiatan yang menjadi janji-janji politik Kepala Daerah yang dituangkan dalam RPJMD.

Senin, 28 Januari 2019


MENUNGGU LAHIRNYA OBLIGASI DAERAH
Oleh Irfan Sofi

Nyaris terbit..... itulah yang terjadi dengan Obligasi Daerah saat ini. Lebih dari satu dasawarsa lebih belum ada satupun Pemda yang berhasil menerbitkan Obligasi Daerah. Provinsi DKI Jakarta gagal menerbitkan Obligasi Daerah untuk membangun Terminal Pulo Gebang yang pada akhirnya dibiayai dari SiLPA. Provinsi Jawa Barat juga gagal menerbitkan Obligasi Daerah untuk membangun Bandara International Jawa barat di Kertajati karena kewenangan atas kepelabuhan udara ada pada Pemerintah Pusat sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal serupa juga terjadi untuk Provinsi Kalimantan Timur dimana belum berhasil menerbitkan Obligasi Daerah yang seyogyanya untuk membiayai jalan tol Balikpapan – Samarinda karena kewenangan pula akhirnya proyek tersebut dibiayai oleh Pemerintah Pusat.
Saat ini, Pemerintah Pusat berupaya agar Pemerintah Daerah secepatnya ada yang mampu menerbitkan Obligasi Daerah. Beberapa langkah yang telah ditempuh oleh Pemerintah Pusat untuk mengupayakan hal ini antara lain dengan meninjau kembali atau memperbaiki peraturan – peraturan yang ada saat ini  yang berpotensi menyulitkan dalam proses penerbitan Obligasi Daerah. Aturan tersebut antara lain yaitu aturan terkait Pasar Modal dimana sesuai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah harus diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di OJK. Berdasarkan hasil diskusi antara BPK dan OJK disepakati untuk Obligasi Daerah bisa menggunakan LKPD yang diaudit oleh BPK  dan kesepakatan ini akan dimuat nantinya dalam Revisi Peratuan OJK.
Masalah lain yang biasanya juga memberatkan Pemerintah Daerah yaitu terkait biaya studi kelayakan  an pemeringkatan daerah. Biasanya kegiatan tersebut menghabiskan biaya yang besar dan perlu terlebih dahulu dianggarkan di dalam APBD. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah Pusat dengan bantuan lembaga donor dapat membantu daerah dalam membuat studi kelayakan serta memberikan bantuan pendampingan penerbitan Obligasi Daerah dalam bentuk pelatihan untuk SDM yang akan menjadi pengelola Obligasi Daerah.
Obligasi Daerah Sebagai Salah Satu Alternatif Pembiayaan Daerah
Kemandirian daerah perlu kita dorong untuk mengurangi ketergantungan daerah  akan Dana Transfer ke Daerah dari Pemerintah Pusat. Kemandirian suatu daerah dapat kita lihat dari seberapa besar porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD. Pada tahun 2017, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkontribusi sebesar 23% dari total pendapatan daerah. Apabila ketergantungan Pemerintah Daerah akan Dana Transfer ke Daerah untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, maka ditakutkan akan dapat mengganggu proses pembangunan yang ada di daerah. Apabila kejadian pada akhir tahun 2016 terjadi kembali yaitu kebijakan penundaan sebagian Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang di transfer ke daerah yang diakibatkan oleh keadaan kondisi keuangan negara yang kurang baik maka akan berdampak pada proses pembangunan yang sudah di rencanakan oleh daerah.

                                     Sumber : DJPK – Kemenkeu

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa lonjakan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menutup kebutuhan pembangunan infrastruktur rupanya masih jauh dari kata cukup. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJM) tahun 2015-2019, kebutuhan dana infrastruktur mencapai Rp4.796 triliun. Sebanyak 40% berasal dari APBN dan APBD, BUMN sebesar 22%, dan sisanya sebesar 36,5% didanai oleh swasta. Pada tahun 2017 ini dialokasikan anggaran sebesar Rp380 triliun atau 19% dari total APBN[1]. Apabila kemandirian daerah bisa ditingkatkan maka akan dapat memperingan beban Pemerintah Pusat sehingga anggaran yang seharusnya dialokasikan dalam APBN dapat dialihkan untuk melaksanakan program pembangunan lainnya.
               Sumber : DJPK – Kemenkeu
Jika kita melihat porsi belanja dalam APBD Tahun 2017 untuk Provinsi/Kabupaten/ Kota terlihat bahwa porsi belanja modal hanya dianggarkan 20% dari total belanja, jumlah ini jauh dibawah belanja pegawai yang mencapai 37% dari total belanja. Sedangkan untuk APBD Provinsi pada Tahun 2017 besaran porsi belanja modal hanya 17% dari total belanja atau jumlahnya dibawah porsi belanja modal pada Kab./Kota yang mencapai 22% dari total belanja. Dalam belanja modal yang telah dianggarkan dalam APBD tersebut tidak semuanya diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur fisik saja karena dalam unsur belanja modal dalam APBD terdapat pembelian barang modal dan biaya administrasi proyek.
Pembiayaan pembangunan di daerah pada hakekatnya dapat dilakukan dengan melalui 2 (dua) pendekatan:
1.      Pay As You Use
menurut pendekatan ini skema pembiayaan pembangunan proyek di daerah dilakukan melalui Utang, seperti Municipal Bond atau Obligasi Daerah. Berdasarkan pendekatan ini, masyarakat diharuskan ikut serta berpartisipasi untuk membayar atas setiap pelayanan jasa yang dinikmatinya, contoh rumah sakit, sistem air bersih, bandara, sarana transportasi dll.
2.      Pay As You Go
menurut pendekatan ini skema pembiayaan pembangunan  proyek di daerah menggunakan sumber dana pendapatan daerah yang ada, sehingga tidak ada beban bunga yang harus dibayar oleh Pemerintah Daerah.
Di Indonesia, pemanfaatan sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur dari penerbitan obligasi daerah belum dilirik oleh daerah utamanya daerah yang memiliki kemampuan untuk menerbitkan obligasi daerah. Berdasarkan data kemampuan keuangan yang ada saat ini paling tidak minimal ada 8 daerah yang potensial untuk dapat menerbitkan Obligasi Daerah. Selain 3 daerah diatas (DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Kalimantan Timur), ada juga Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Balikpapan, Kota Surabaya, Kota Semarang, dan Kota Yogyakarta.  
Saat ini masih banyak daerah yang menggunakan pendapatan umum APBD sebagai sumber belanja infrastruktur di daerah yaitu sekitar 85,02%. Tidak banyak daerah yang menggunakan sumber pendanaan dari sumber pinjaman membiayai pembanguanan infrastruktur atau hanya sekitar 0,30%. Kedepannya Pinjaman/Obligasi Daerah ini dapat digunakan sebagai sumber alternatif pendanaan bagi Pemerintah Daerah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan daerah, utamanya proyek-proyek yang dapat menghasilkan pendapatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Obligasi Daerah juga merupakan salah satu alternatif investasi yang dapat dipilih oleh masyarakat dengan tingkat resiko yang kecil dan sekaligus masyarakat dapat ikut berpartisipasi langsung dalam menyukseskan program pembangunan di daerahnya.

                                       Sumber : DJPK – Kemenkeu

Obligasi sebagai salah satu bentuk pijaman/hutang akan mendatangkan kewajiban bagi pemerintah daerah baik kewajiban pembayaran pokok hutang tersebut serta bunga kepada masyarakat sebagai investor selama jangka waktu pinjaman. Oleh karena penerbitan obligasi daerah perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati, agar obligasi daerah tidak akan menjadi beban Pemerintah Daerah dimasa mendatang. Obligasi daerah apabila dapat digunakan secara bijak dan prudent maka akan dapat meningkatkan kemampuan daerah dalam mempercepat pembangunan di daerahnya. Namun sebaliknya apabila tidak dapat menggunakannya dengan baik maka justru akan membahayakan kelangsungan pembangunan dan eksistensi daerah.
Proses Penerbitan Obligasi Daerah
Sebelum obligasi daerah diterbitkan di pasar modal, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah terlebih dahulu. Tahap-tahap tersebut meliputi persiapan di daerah, persetujuan Menteri Keuangan, tahap pra-registrasi dan registrasi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga tahap penawaran umum di Pasar Modal sebagaimana gambar berikut ini:

Proses Penerbitan Obligasi daerah









Tahap persetujuan Menteri Keuangan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.07/2015 tentang Perubahan atas PMK Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah. Dalam peraturan tersebut Pemerintah Daerah yang akan menerbitkan Obligasi Daerah harus menyerahkan persyaratan kepada Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan untuk dilakukan penilaian baik penilaian administrasi dan penilaian keuangan. Selanjutnya setelah memenuhi persyaratan tersebut maka akan keluar persetujuan dari Menteri Keuangan. Selanjutnya baru dapat di daftarkan ke OJK untuk dapat masuk ke Pasar Modal.


Manfaat Obligasi Daerah
Obligasi Daerah sebenarnya dapat memberikan banyak manfaat khususnya bagi Pemerintah Daerah antara lain:
1.      Mempercepat pembangunan daerah
Dengan keterbatasan dana yang ada utamanya dana Transfer ke Daerah dari Pemerintah Pusat maka dengan penerbitan Obligasi Daerah Pemerintah Daerah dapat memperoleh dana dalam jumlah lebih banyak diawal sehingga dapat mempercepat pembangunan infrastruktur di daerah daripada mencadangkan dana dari APBD untuk membiayai proyek yang akan memerlukan waktu 3-5 tahun ke depan. Sehingga manfaat akan lebih cepat dirasakan oleh masyarakat dengan terbangunnya infrastruktur tersebut.
2.      Melibatkan publik secara langsung dalam pembangunan daerah
Dengan membeli Obligasi Daerah masyarakat akan terlibat langsung dalam proses pembangunan di daerah. Selanjutnya dengan keikutsertaan tersebut masyarakat akan lebih mencintai dan merasa memiliki daerah tersebut atau timbul rasa nasionalisme akan daerahnya tersebut. Obligasi Daerah akan dipilih oleh masyarakat karena lebih aman bagi masyarakat utamanya terkait ketakutan tidak terbayarkan/tidak kembali investasi mereka. Walaupun aset daerah tidak boleh dijaminkan untuk penerbitan Obligasi Daerah tetapi jika APBD masih mampu menghasilkan pendapatan maka
3.      Meningkatkan transparansi daerah
Pemerintah Daerah selaku penerbit Obligasi Daerah diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan secara berkala kepada masyarakat selaku investor baik laporan keuangan maupun laporan kegiatan proyek. Selain itu investor yang membeli obligasi tersebut pasti menyakini bahwa Pemerintah Daerah tersebut memiliki kredibilitas dan baik dalam pertanggungjawaban keuangan.
4.      Sumber dana pembangunan yang relatif murah dan terukur
Obligasi biasanya waktu pelunasannya dalam jangka panjang (terukur waktunya) sehingga tidak akan memberatkan daerah dalam mencadangkan di APBD untuk melunasi pokok obligasi saat jatuh tempo selain itu bunga atau kupon yang akan ditanggung oleh daerah jauh lebih murah daripada sumber dana dari pinjaman perbankan.
Perlu kerja keras dari semua pemangku kepentingan yang terkait Obligasi Daerah agar keinginan penerbitan obligasi daerah dapat terwujud, yaitu dengan meningkatkan  koordinasi dan kerjasama serta kesamaan pemahaman sehingga tidak terjadi miskomunikasi atas suatu aturan. Selain itu penerbitan Obligasi Daerah perlu direncanakan dengan matang utamanya kegiatan yang akan dibiayai oleh Obligasi tersebut dan kegiatan tersebut harus merupakan bagian dari perencanaan anggaran dalam penyusunan APBD sehingga biaya yang akan diperlukan guna penerbitan Obligasi Daerah tersebut sudah tersedia sehingga tidak perlu menunggu dari donor atau mengganggarkan lagi yang akan memakan waktu yang lama lagi.
 Selanjutnya perlu dipikirkan adanya insentif baik untuk emiten dalam hal ini daerah maupun investor. Insentif untuk daerah dapat berupa pemberian dana baik berasal dari Tansfer ke Daerah atau Hibah kepada daerah yang mampu menerbitkan Obligasi Daerah sehingga mampu memacu daerah-daerah untuk secepatnya dapat menerbitkan Obligasi Daerah. Insentif juga diberikan kepada pembeli Obligasi Daerah untuk menarik minat investor dalam bentuk insentif pajak. Kita berharap sekali lagi agar suatu saat penerbitan Obligasi Daerah tidak hanya mimpi tetapi dapat menjadi sebuah kenyataan.


[1] Detiknews.com, Selasa 04 Apr 2017, 11:12 WIB



MASIH PERLUKAH PINJAMAN DAERAH







Oleh Irfan Sofi




Pada masa pemerintahan Jokowi - JK saat ini, isu kesenjangan infrastruktur di Indonesia sangat menguat dan diangkat sebagai salah satu tantangan yang harus segera dijawab untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara. Hal ini didasari pada bukti bahwa jika investasi infrastruktur dilaksanakan secara berkesinambungan, maka hal itu akan membawa dampak signifikan pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan prospek pertumbuhan jangka panjang Indonesia. Menurut prediksi McKinsey & Company, Indonesia membutuhkan suntikan investasi setidaknya USD600 miliar dalam 10 tahun mendatang. Faktanya, dalam satu dekade terakhir, investasi infrastruktur menurun cukup tajam, berkisar antara 3% – 4% dari PDB, akibatnya Indonesia setidaknya kehilangan 1% dari laju pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya (World Bank). Hasil kajian yang sama dari Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal Tahun 2013, dengan kebutuhan pendanaan infrastruktur di Indonesia adalah 10% dari Produk Domestik Bruto, maka diperlukan sumber pembiayaan lain sebesar 3%-4% dari PDB.
Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen. PUPR) menunjukkan bahwa saat ini masih ada gap kekurangan pembiayaan pembangunan infrastruktur hingga sebesar Rp626 triliun. Selanjutnya berdasarkan data Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), kebutuhan pendanaan infrastruktur prioritas untuk periode tahun 2016 2030 adalah sebesar USD856,5 miliar. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 8% yang diperkirakan dapat didanai oleh Pemerintah baik melalui Transfer ke Daerah ataupun Dekon dan TP dari Kementerian/Lembaga.
Besarnya kebutuhan pendanaan untuk infrastruktur tersebut tentu tidak mungkin hanya mengandalkan Pemerintah Pusat melalui alokasi anggaran di APBN. Pada Tahun Anggaran 2017 (APBN-P), Pemerintah hanya mampu mengalokasikan anggaran untuk pendanaan infrastruktur sebesar Rp387,3triliun dan untuk Tahun Anggaran 2018 bertambah menjadi Rp410 triliun. Oleh karena itu, dalam era desentralisasi fiskal seperti sekarang ini, pembangunan infrastruktur publik di daerah pada dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Namun demikian, keinginan untuk membangun layanan publik yang baik kadang kala terkendala oleh kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyediakan pendanaan untuk infrastruktur tersebut.
ANGGARAN INFRASTRUKTUR TAHUN 2015 - 2017
(triliun rupiah)
No
Uraian
2015
2015
2016
2016
2017
APBNP
REALISASI
APBN
APBNP
APBN
I.
Infrastruktur Ekonomi
280,3
247,4
302,6
307,1
377,8
1.
Melalui K/L
196,8
170,3
165,5
151,2
153,7
2.
Melalui Non K/L
6,8
4
5,3
5,3
2,6
3.
Melalui Transfer Daerah
41
39,1
83,4
88
183,7
4.
Melalui Pembiayaan
35,7
34,1
48,3
62,1
37,8
II.
Infrastruktur Sosial
6,3
5,8
6,5
5,7
5,5
III.
Dukungan Infrastruktur
3,7
2,9
4,4
4,2
4,1
Jumlah

290,3
256,1
313,5
317,1
387,3
Sumber : DJPK - Kemenkeu
Saat ini Pemerintah Daerah banyak yang mengajukan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur di daerah. Hal ini terlihat dari banyaknya permintaan pengajuan pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri dan permintaan ijin pelampauan defisit APBD kepada Menteri Keuangan. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur yang besar di daerah tidak diikuti oleh kemampuan daerah untuk membiayai dari APBD-nya. Transfer ke Daerah yang untuk sebagian besar daerah sebagai salah satu sumber pendapatan utama mengalami penurunan yang sangat signifikan khususnya daerah penghasil Sumber Daya Alam. Agar supaya pendanaan untuk pembiayaan infrastruktur tidak lagi tergantung pada Transfer ke Daerah maka alternatif pendanaan yang berasal dari Pinjaman Daerah menjadi salah satu solusinya.
Berdasarkan data APBD Tahun 2017 agregat seluruh Indonesia, diketahui besaran porsi belanja pegawai serta belanja barang dan jasa telah mencapai 58% dari jumlah APBD. Sedangkan untuk porsi belanja modal hanya sebesar 20% dan belanja lain-lain sebesar 22%. Porsi belanja modal yang mencapai 20% dari keseluruhan pagu yang ada di APBD tidak semuanya digunakan untuk belanja infrastruktur fisik. Untuk meningkatkan porsi belanja infrastruktur dalam APBD, Pemerintah telah membuat kebijakan agar Provinsi/Kabupaten/Kota mengalokasikan 25% dari Dana Transfer Umum (Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil) yang diterima setelah dikurangi Alokasi Dana Desa (ADD) untuk belanja infrastruktur.
PINJAMAN DAERAH SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PEMBIAYAAN DAERAH
Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi Pemerintah Daerah, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali (Pasal 1 Angka 1 PP Nomor 30 Tahun 2011).
Pinjaman Daerah dapat digunakan untuk menutup kekurangan arus kas daerah, membiayai pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan, atau membiayai kegiatan investasi berupa pengadaan prasarana dan/atau sarana daerah yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat maupun menghasilkan penerimaan bagi APBD. Bagi pemerintah daerah yang akan melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan daya saing daerah, pinjaman daerah dapat menjadi salah satu alternatif pembiayaan. Namun demikian, dalam melakukan pinjaman Pemerintah Daerah harus dapat memperhitungkan risiko yang mungkin timbul, memperhatikan asas kecermatan dan kehati-hatian serta melakukan pengelolaan pinjaman secara profesional dan akuntabel.
Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah telah mengatur sumber-sumber pinjaman daerah, yaitu:
1)        Pemerintah
Pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah, penerusan pinjaman dalam negeri, dan/atau penerusan pinjaman luar negeri.
2)        Pemerintah Daerah lain
Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah lain.
3)        Lembaga Keuangan Bank
Pemerintah Daerah untuk menutup kekurangan arus kas di daerah biasanya melakukan pinjaman ke perbankan daerah (biasanya Bank Pembangunan Daerah).
4)        Lembaga Keuangan Bukan Bank
Salah satu Lembaga keuangan Bukan Bank yang memberikan fasilitas pinjaman kepada daerah yaitu PT. Sarana Multi Infrastruktur.
5)        Masyarakat.
Pinjaman yang bersumber dari masyarakat dapat berupa obligasi daerah yang diterbitkan melalui pasar modal.
Manfaat penggunaan Pinjaman Daerah sebagai sumber pembiayaan infrastruktur di daerah antara lain :
1)        Infrastruktur publik dapat segera dibangun lebih cepat sehingga dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Apabila melalui penganggaran yang dilakukan secara multiyears dalam APBD akan memerlukan waktu lebih lama atau yan melalui mekanisme penyisihan dalam APBD dalam Dana Cadangan.
2)        Dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan memperoleh penerimaan dari proyek-proyek infrastruktur pelayanan publik yang bersifat menghasilkan penerimaan.
3)        Dapat menumbuhkan pusat ekonomi baru di daerah yang akan memberikan multiplayer effect terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan daya saing daerah.
4)        Kepercayaan publik atau masyarakat akan meningkat apabila daerah berhasil menyelesaikan pembayaran pinjaman dengan baik.
PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI PT. SMI
PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI) merupakan Lembaga Keuangan Non-Bank yang berbadan hukum milik negara (BUMN) di bawah Kementerian Keuangan yang dibentuk pada tanggal 26 Februari 2009 dengan tugas khusus yaitu mendukung agenda pengembangan infrastruktur di Indonesia. Sebagai Lembaga Keuangan Non-Bank, maka kegiatan pembiayaan merupakan salah satu aktivitas inti dari perseroan. Dalam kaitan dengan kebutuhan pendanaan infrastruktur di daerah, PT. SMI menjadi salah satu sumber penyedia dana pinjaman daerah yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah.
Seiring dengan berjalannya waktu dan melihat tingginya kebutuhan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur di daerah serta besarnya kapasitas pendanaan yang dimilki PT. SMI, secara khusus PT. SMI diberikan mandat dan keleluasaan oleh Pemerintah untuk memberikan dukungan kepada Pemerintah Daerah dalam hal pembiayaan proyek Infrastruktur hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/PMK.06/2015 tentang Pelaksanaan Pengalihan Investasi Pemerintah Pusat dalam Pusat Investasi Pemerintah (PIP) menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN) pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI).
Pembiayaan tersebut mencakup proyek-proyek infrastruktur pelayanan publik yang bersifat menghasilkan penerimaan (revenue generating project), maupun proyek infrastruktur yang tidak menghasilkan penerimaan ke APBD (non-revenue generating project), sepanjang keduanya memiliki manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat. Proyek-proyek yang dapat dibiayai oleh PT. SMI antara lain pasar, jalan dan jembatan, ketenagalistrikan, air minum, transportasi, sekolah, rumah sakit, irigasi, pariwisata, pembangunan kawasan, manajemen persampahan dan pengelolaan limbah. Sebagian besar proyek yang mendapatkan pembiayaan dari PT. SMI berada di luar Jawa utamanya Indonesia Bagian Tengah dan Indonesia Bagian Timur (68,42%) serta diperuntukan untuk sektor diluar pendidikan dan kesehatan yang sudah mendapatkan porsi lebih besar di APBN dan APBD dari pada sektor-sektor yang lain.
Prosedur Pinjaman Daerah yang bersumber dari PT. SMI  diawali dengan inisiasi Pemda untuk mengajukan pinjaman kepada PT. SMI dengan dilampiri berkas persyaratan termasuk surat persetujuan dari DPRD. Selanjutnya PT. SMI melakukan serangkaian kegiatan dimulai dari pemeriksaan berkas, melakukan site visit untuk mengecek langsung lokasi proyek yang akan dibiayai, serta melakukan analisa kelayakan. Proses permintaan pertimbangan kepada Mendagri atas pinjaman yang diajukan tetap dilakukan bersamaan dengan kegiatan tersebut. Selanjutnya apabila pinjaman tersebut melampaui defisit APBD maka perlu mengajukan ijin pelampauan defisit kepada Menteri Keuangan. Proses dari mulai inisiasi usulan dari Pemda diterima sampai dengan disetujui atau ditolak pinjaman tersebut diperlukan waktu paling lama 40 hari kerja sesuai dengan PMK Nomor 174/PMK.08/2016.
Prosedur Pinjaman Daerah dari PT SMI
Sumber : PT SMI
Pemerintah juga telah memberikan jaminan atas pinjaman oleh Pemda yang dilakukan oleh PT. SMI yaitu dengan telah terbitnya PMK Nomor 174/PMK.08/2016 tentang Pemberian Jaminan Kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur Dalam Rangka Penugasan Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah. Resiko gagal bayar (default) terhadap pinjaman yang diberikan kepada Pemda harus diperhitungkan dan perlu dikelola atau dimitigasi dengan baik. Berdasarkan PMK tersebut, Pemerintah akan melakukan intercept melalui pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Pemda yang gagal bayar.
Untuk melaksanakan intercept tersebut, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan 2 (dua) paket peraturan yaitu           
1)             PMK Nomor 121/PMK.07/2017 Tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah Melalui Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil; dan
2)             PMK Nomor 125/PMK.08/2017 Tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Jaminan Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah.
PORTFOLIO PT. SMI PER 30 JUNI 2017
No
Nama Daerah
Lunas
Existing
Signing dan menuju perjanjian
Offering Letter
1
Kab. Lombok Tengah
Jalan



2
Kab. Kolaka Utara
Jalan


Jalan
3
Kota Padang

RSUD


4
Kab. Pesisir Selatan

RSUD


5
Kota Bandar Lampung

Jalan I
Jalan II, III

6
Kab. Lampung Selatan

Jalan


7
Kab. Temanggung

Pasar


8
Kab. Bangkalan

RSUD


9
Kab. Gianyar

RSUD


10
Kab. Karangasem

RSUD, Pasar


11
Kab. Lombok Timur

Pasar


12
Prov. Sulawesi Selatan

Jalan


13
Kab. Bulukumba

RSUD


14
Kab. Muna

RSUD


15
Kab. Buton

Jalan


16
Kab. Boalemo

Jalan


17
Kota Gorontalo

Terminal


18
Prov. Sulawesi Barat

RSUD


19
Kota Palu

RSUD


20
Kab. Konawe

RSUD


21
Prov. Sulawesi Tenggara

RSUD, Jalan I,II


22
Kab. Halmahera Selatan

Jalan


23
Kab. Tapanuli Utara



Pasar
24
Prov. Sumatera Barat



Irigasi
25
Kab. Tulang Bawang Barat



Jalan
26
Prov. Lampung



Jalan
27
Kab. Tabanan



RSUD
28
Kab. Kutai Kartanegara



Jalan
29
Kab. Penajam paser Utara



Jalan
30
Prov. Kaltara



RSUD
31
Prov. Papua



RSUD
32
Kab. Jayapura



Jalan
Sumber : PT. SMI